Jumat, 19 Agustus 2011

"Summit Attack dan In Memorian Paul"



Catatan Ekspedisi Gunung Binaya PPSWPA-KANAL (Bagian-3)


Laporan:

Budi Herman dan Agus Salim Patty


"Suku asli pulau Seram di kaki gunung Binaya sangat menghormati gunung itu karena meyakini roh leluhur mereka mendiaminya".

24 tahun silam, gunung Binaya di pedalaman pulau Seram menjadi perhatian dunia. Seorang pendaki muda yang juga fotografer berkebangsaan Inggris, Paul Claxton, ditemukan tewas setelah terjatuh dari “atap” Maluku.

Paul adalah peserta Operation Raleigh, sebuah kegiatan penelitian flora dan fauna yang dimulai sejak 1984 di AS dan berakhir 1988 di Inggris. Operation Raleigh dilakukan di berbagai pelosok dunia yang masih perawan alamnya.

Pria berkebangsaan Inggris itu terjatuh dari puncak Binaya, 16 Agustus 1987. Nasib tragis Paul nyaris dikuti rekannya, Ashley Hyett, penjelajah muda yang ikut menemani Paul mendaki Binaya. Meskipun selamat, Ashley saat ditemukan tim SAR (Search and Rescue) dalam keadaan sangat mengenaskan. Sebagian tulang iganya patah, kulit tubuhnya terbarut, kedua engsel kakinya terpelintir.


Ketika ditemukan, luka di kepala Ashley sudah mengalami infeksi parah dan dikerubungi belatung. Sedangkan mayat Paul baru ditemukan setelah kedatangan pendaki senior Mapala UI yang juga wartawan Kompas, Norman Edwin. Jejak dari peristiwa tragis ini masih bisa ditemukan di desa Kanikeh. Tepatnya di depan rumah adat Kanike terdapat prasasti "In Memorian Paul".

Sesampai di Kanikeh, Rabu (20/7), tim ekspedisi PPSWPA-KANAL menyempatkan diri mengunjungi prasasti yang mengenang peristiwa tragis 24 tahun silam. Lokasi perkampungan di ketinggian 640 mdpl ini merupakan perkampungan yang berada paling dekat dengan gunung Binaya.

Dari desa ini, gunung Binaya terlihat sangat jelas pada pagi hari, sedangkan siang dan sore tertutup kabut dan awan. Secara geografis, di sebelah utara Kanikeh terdapat gunung Hitapala, sebelah selatan gunung Binaya, sebelah barat Sungai Ule (Wae Ule) dan sebelah barat laut gunung Sapalewana. Menurut tetua adat Kanikeh, nama asli desa ini adalah Nusamuwele atau Nusawele. Nusa diartikan Tanah, Wele diartikan dengan Terang.

Selain riset, tim ekspedisi juga melakukan sosialisasi kegiatan Jejak Binaya Adventure kepada Saniri Negeri dan masyarakat Kanikeh. Kamis pagi (21/7) sekitar pukul 09.00 WIT, sebelum melanjutkan perjalanan, tim diwajibkan mengikuti ritual adat yang didalamnya terdapat prosesi makan siri-pinang. Ritual ini dipimpin ketua adat Kanikeh dan diharuskan kepada mereka yang ingin mendaki gunung Binaya karena bertujuan memperoleh keselamatan bagi para pendaki.

Sehabis proses adat, tim melanjutkan perjalanan menempuh jalur menanjak. Saat waktu menunjukan pukul 16.35, tim sepakat mendirikan base camp di Wae Ansela. Jumat pagi (22/7), tim bergerak menuju Wae Huhu, selanjutnya beristirahat untuk makan siang. Di Wae Huhu ditemukan banyak sampah non organik yang berserakan di lokasi base camp yang kemungkinan ditinggalkan oleh pendaki sebelumnya.

Melihat kondisi ini, kami berinisiatif untuk membakar dan menguburkan sampah-sampah tersebut. Setelah cukup beristirahat, kami bergegas menuju puncak dengan menerobos vegetasi lumut dan pakis. Dalam perjalanan terlihat beragam jenis satwa khas daerah setempat seperti burung nuri, burung rangkong, dan rusa. Sekitar 150 meter sebelum sampai di base camp terakhir Wae Puku, tim terlebih dahulu melewati jalur lereng curam dan punggungan terjal dengan bebatuan labil.

Tepat pukul 17.12 WIT, tim ekspedisi sampai di Wae Puku, dan langsung mendirikan tenda dome. Di lokasi ini terdapat sumber air berupa telaga yang dangkal. Di sini kami juga menemukan banyak sampah yang terkumpul seluruhnya mencapai dua kantung plastik. Sampah-sampah yang ditinggalkan pendaki sebelumnya itu kami bakar dan kuburkan. Setelah itu, kami bergegas melakukan “summit attack” di titik tertinggi Binaya, 3.207 mdpl.

Gunung Binaya bukan saja menyimpan misteri dan mitos bagi masyarakat adat di sekitarnya. Berada di puncak Binaya, keindahan alam terasa sempurna. Memandang gumpalan awan tebal di bawah kita, serasa berada di sebuah negeri di atas awan. Keadaan medan untuk mencapai Binaya adalah tantangan tersendiri bagi para petualang sejati yang ingin menikmati sensasi mendaki mulai dari titik 0 mdpl hingga titik 3.027 mdpl. (habis)





* Pernah dipublikasikan di Koran Harian Ambon Ekspres Edisi Sabtu 6 Agustus 2011

selanjutnya »»

"Merayap di Bibir Jurang Hingga Mengajar di Pedalaman Seram"


Catatan Ekspedisi Gunung Binaya PPSWPA-KANAL (Bagian-2)


Laporan:

Budi Herman dan Agus Salim Patty


"Medan ekstrim dan kondisi pendidikan yang terabaikan menjadi bagian dari perjalanan tim Ekspedisi Gunung Binaya PPSWPA-KANAL".


Setelah melewati Liang Satu (Amarawele) di ketinggian 590 mdpl, tim ekspedisi menemukan makam yang dikeramatkan masyarakat setempat. Keramat itu dinamai “makam satu jengkal”. Kami diwajibkan berdoa di keramat untuk meminta perlindungan dari marabahaya, juga menaruh beberapa batang rokok sebagai sesajian.

Rabu (13/7), perjalanan dilanjutkan dengan jalur yang makin ekstrim. Tanjakan curam dengan bebatuan cadas menjadi medan yang harus dilalui. Di tengah hujan deras, kami terus merayap di bibir jurang, sambil berpegangan pada dinding tebing. Sebagian jalan yang dilalui hanya selebar satu tapak sepatu. Sesekali jantung berdetak kencang ketika batu dan tanah tempat pijakan kami gugur dan jatuh ke dalam jurang.



Di beberapa titik terdapat bekas longsoran membuat perjalanan semakin beresiko. Sudah begitu, dalam kondisi hujan dan merayap di bibir jurang, semua anggota tim ekspedisi membawa dua tas, masing-masing orang memikul carrier (ransel besar) di punggung, dan satu daypack (ransel kecil) ditandem di depan.

Setelah melewati medan ekstrim sekitar 4 jam, kami tiba di hutan Seki Waelala di ketinggian 500 mdpl. Daerah ini dipenuhi becek. Lokasi base camp kami untuk bermalam bahkan berada di tanah berlumpur. Kamis pagi (14/7), tim melanjutkan perjalanan ke Liang Dua (Silahata) dan memilih istirahat sebentar. Perjalanan dilanjutkan menuju Liang Tiga (Malasihata) di ketinggian 990 mdpl.

Tim melanjutkan perjalanan dengan jalur semakin menantang yang menguras fisik dan mental hingga mencapai titik 1090 mdpl di Wae Kapakasitamu. Setiba di Camp Inggris yang biasanya dijadikan para pendaki gunung Binaya sebagai tempat istirahat, kami justru tetap melanjutkan perjalanan hingga tiba di Hutan Wele Yohi-Yohi di punggungan gunung Huale dengan ketinggian 1400 mdpl. Di punggungan gunung ini tim bermalam.

Dalam perjalanan, beberapa kali, tim ekspedisi berpapasan dengan anak-anak dari desa Manusela. Mereka hendak ke Hatumete atau desa-desa di pesisir untuk bersekolah. Mahfum di kampung mereka hanya ada sekolah dasar. Kasihan benar, hanya untuk sekolah mereka harus jalan kaki naik-turun gunung dua sampai tiga hari, bahkan lebih. Kalaupun dapat malam di tengah perjalanan, anak-anak ini terpaksa bermalam di hutan. Sebagian besar dari mereka terpaksa tinggal di desa tempat mereka melanjutkan sekolah. Pada akhir pekan, anak-anak ini biasanya pulang ke kampung halaman.

Jumat pagi (15/7), tim melanjutkan perjalanan melewati punggungan gunung Huale atau gunung Nasalala. Di puncak Nasalala, kabut tebal menyergap di ketinggian 1800 mdpl. Desa Manusela bisa terlihat jelas dari puncak Nasalala, namun kabut tebal menghalangi pandangan kami. Dihadang kabut tebal dan hujan deras, kaki kami harus menuruni bukit yang banyak terdapat akar pohon yang melintang di jalur ini. Kondisi medannya membuat kami harus lebih ekstra hati-hati bila tidak mau terjatuh atau terperosok ke bawah.

Dalam perjalanan menuruni punggungan gunung, vegetasi yang kami lalui adalah hutan damar. Perjalanan akhirnya tiba di Liang Empat (Pasaseha) di ketinggian 1240 mdpl. Di Liang Empat, tim berinisiatif bermalam, sebab waktu sudah menunjukan pukul 5 sore, apalagi stamina tim cukup terkuras sehari itu. Sabtu siang (16/7), tim melanjutkan perjalanan menuju Manusela dengan melewati vegetasi hutan bambu yang cukup luas.

Lima hari perjalanan dari Moso hingga Manusela, Tim Ekspedisi Binaya dari PPSWPA-KANAL kerap ditemani hujan, kadang menyeberangi sungai besar dan kecil. Sepanjang hari, pakaian basah dan rasa dingin menjadi bagian tak terpisahkan dari ekspedisi. Pakaian kering hanya bisa dinikmati pada malam hari saat mau tidur.

Perjalanan hari kelima akhirnya sampai ke desa Manusela. Setelah hampir lima jam dihadang kabut tebal serta diguyur hujan seharian, melihat perkampungan dari jauh, muncul sedikit harapan bisa bermalam lebih nyaman di rumah warga. Tim tiba di Manusela menjelang pukul 20.00 WIT dan langsung mencari rumah kepala desa.

Manusela merupakan satu-satunya desa di jalur pendakian kami yang lengkap dengan fasilitas publik. Meskipun demikian, satu sekolah dasar dan puskesmas di desa itu juga tidak berfungsi secara baik. Puskesmas jarang buka untuk pelayanan kesehatan warga karena petugasnya lebih sering berada di luar desa. Nasib yang sama juga menimpa sekolah dasar di desa itu.

Hati siapa tak tergugah ketika dalam republik ini masih ada masyarakat yang belum menikmati kebutuhan dasar berupa pendidikan dan kesehatan secara layak dan bermutu. Fasilitas pendidikan yang tersedia sangat memprihatinkan. Bangunannya berdinding papan lapuk yang hampir roboh, beralaskan tanah, serta atapnya dari daun rumbia yang bolong dimana-mana. Sebagian besar siswa bersekolah tanpa seragam, apalagi memiliki perlengkapan tulis-menulis.

Jumlah pengajar di SD YPPK Manusela ada tiga guru, itupun jarang menjalankan tugas karena lebih sering menetap di luar desa. Hanya ada satu guru bantu Ny. J.F. Lilihata yang setia mengajari siswa kelas 1 hingga 6, tanpa digaji. Kebetulan Lilihata adalah anak kepala desa yang tinggal di Manusela. Ia tak tega melihat anak-anak desanya diabaikan haknya untuk sekolah.

Melihat kondisi ini, tim ekspedisi yang juga membawa bantuan alat peraga pendidikan untuk belajar membaca dan berhitung ke sekolah-sekolah di kaki Binaya, langsung berinisiatif mengajar anak-anak pedalaman pulau Seram tersebut.

Secara administratif, desa Manusela berada dalam Kecamatan Seram Utara dan merupakan desa induk yang membawahi enam dusun yakni Siatele, Miliani, Solea, Kabuhari, Maraina dan Selumena. Secara geografis, desa ini berada di lembah yang dikelilingi gunung. Di sebelah utara menjulang gunung Sapaleta, selatan gunung Huale, timur gunung Amalia, dan sebelah barat gunung Murkele. Desa ini juga diapit dua sungai besar, Wae Ihana dan Wae Hanuai.

Manusela berasal dari kata Manu (manusia yang diumpamakan sebagai burung) dan Sela (tempat yang dicari). Jadi, Manusela berarti manusia yang mencari tempat berteduh atau tinggal. Terdapat sembilan marga di Manusela yakni Lilihata, Latumutuan, Eyale, Paay, Manukuwani, Mahua, Masalina, Ilelapotowa, dan Etalo.

Letak rumah-rumah warga di desa yang berada di ketinggian 870 mdpl itu tampak teratur. Kedaan desa yang penduduknya mayoritas beragama Kristen Protestan itu terlihat rapi dan bersih. Sehari-harinya masyarakat setempat berkomunikasi dengan bahasa gunung. Salah satu tempat yang dikeramatkan adalah kuburan tua yang dinamai Amalia Moa atau Keramat Hutan.

Tim ekspedisi tertahan dua hari di Manusela karena sungai diantara Manusela dan Maraina meluap karena hujan tak kunjung reda. Selama dua hari itu kami memaksimalkan keberadaan kami untuk mengajar di sekolah sekaligus mendalami riset.

Setelah arus sungai yang banjir perlahan surut, Senin siang (18/7) kami berusaha menerobos sungai dengan membuat jembatan darurat dari batang-batang bambu. Sesuai agenda perjalanan, tim juga bermalam di Maraina meskipun jarak antara kedua desa ini relatif dekat yakni sekitar 3 kilometer.

Masyarakat Maraina memiliki impian sama, seperti halnya masyarakat Manusela. Di Maraina terdapat satu sekolah dasar yang juga dalam kondisi prihatin. Meskipun sekolah tersebut berstatus negeri, tapi hanya ada satu orang guru yang sekaligus merangkap kepala sekolah.

Selasa pagi (19/7), tim melanjutkan perjalanan menuju dusun Selumena di ketinggian 800 mdpl. Medan yang dilalui adalah jalur basah dan berlumpur. Selumena berada di bawah desa Manusela, memiliki sebuah baileo (rumah adat) yang diberi nama Nusa Inapanoloki. Di dusun ini terdapat 12 rumah. Menurut cerita masyarakat setempat, dusun Selumena sudah mengalami tujuh kali perpindahan.

Dulunya dusun ini berupa desa Umahaloi yang diganti namanya karena kehadiran marga Selumena dengan alasan perpindahan adalah sumber air. Di dusun ini terdapat empat marga yakni Falate, Huhuna, Berasa, dan Selumena. Masyarakat Selumena belum menikmati fasilitas listrik dan masih mengandalkan pelita sebagai alat penerang di malam hari. Selumena berada di bantaran sungai Isal dengan latar pemandangan gunung Murkele Besar dan gunung Murkele Kecil yang indah.

Setelah bermalam di Selumena, Rabu pagi (20/7), tim kemudian bergerak menuju desa Kanike di ketinggian 640 mdpl. Kanikeh merupakan desa yang berada paling dekat kaki gunung Binaya. (bersambung)



* Pernah dipublikasikan di Koran Harian Ambon Ekspres Edisi Jumat 5 Agustus 2011

selanjutnya »»

“Membelah Nusa Ina dari Selatan ke Utara”


Catatan Ekspedisi Gunung Binaya PPSWPA-KANAL (Bagian-1)


Laporan:

Budi Herman dan Agus Salim Patty


Mendaki Gunung Binaya di Pulau Seram, Provinsi Maluku, tidak semudah dibayangkan. Beberapa kawan dari luar Maluku yang pernah mendaki gunung tinggi di dunia seperti Elbrus di Rusia (Eropa), Kilimanjaro di Tanzania (Afrika) atau Aconcagua di Argentina (Amerika), saat mendaki Binaya, khususnya dari jalur selatan, biasanya dilanda stres medan karena jalur trakking yang panjang dan medan yang dihadapi sangat beragam.

Gunung Binaya memiliki tiga titik ketinggian yakni 3027 mdpl (meter dari permukaan laut), 3019 mdpl dan 3011 mdpl. Bagi kalangan pecinta alam, puncak tertinggi Binaya disebut sebagai “Mutiara Nusa Ina”. Gunung di kawasan Taman Nasional Manusela ini menawarkan pesona alam flora dan fauna yang mampu mengundang decak kagum.

Sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak Binaya, para pendaki saat berada di desa Kanikeh, perkampung paling dekat dengan puncak Binaya, diwajibkan mengikuti ritual adat berupa makan sirih-pinang dan upacara pembersihan jiwa yang dipimpin tetua adat setempat.



Pendakian Binaya dari selatan Pulau Seram termasuk pendakian tereksterim di Indonesia. Sebab jalurnya panjang dan butuh waktu 8 hingga 12 hari untuk sampai ke puncak. Karakteristik gunung dan bukit yang lembab, basah serta berawa-rawa, sepanjang perjalanan akan melewati medan hutan tertutup, hutan terbuka, hutan bambu, daerah rawah, jalur air (sungai) dan tanjakan.

Saat melewati batas vegetasi, perjalanan sekitar 2 sampai 3 jam menuju puncak langsung mendaki tebing dengan kemiringan 65 derajat. Situasi dingin dan lembab serta banyak binatang penghisap darah seperti lintah dan nyamuk mengharuskan pendaki harus lebih berhati-hati.

Menggunakan jalur Moso, para pendaki akan melewati tujuh desa yang dihuni suku asli Maluku. Dari puncak kita dapat melihat pemandangan yang indah sepanjang mata memandang. Saat tak berkabut, terlihat jelas garis pantai utara dan selatan pulau Seram. Kondisi suhu di puncak pada malam hari bisa mencapai minus 3° Celcius.

Jalur menuju puncak Binaya ada dua yakni jalur selatan dari Kecamatan Tehoru dan jalur utara dari Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah. Jalur utara terbilang lebih mudah dan cepat menuju puncak, namun jalur selatan jauh lebih ekstrim.

Di Indonesia, gunung Binaya masuk dalam jajaran tujuh puncak tinggi Indonesia yang mewakili pulau besar dan gugusan pulau-pulau. Selain Binaya, yang masuk seven summit of Indonesia adalah gunung Kerinci (3.805 mdpl) di Sumatera, Semeru (3.676 mdpl) di Jawa, Bukit Raya (2278 mdpl) di Kalimantan, Latimojong (3.478 mdpl) di Sulawesi, Rinjani (3726 mdpl) di Nusa Tenggara, dan Carstensz Pyramid (4884 mdpl) di Papua.

Binaya berada di gugusan pegunungan Manusela. Pegunungan ini membagi pulau Seram menjadi dua bagian yakni Seram Utara dan Seram Selatan. Lazimnya sebuah pegunungan, di gugusan pegunungan Manusela terdapat banyak puncak dengan puncak tertingginya adalah gunung Binaya dengan ketinggian 3.027 mdpl. Puncak lainnya seperti gunung Huale, Murkele, Hitapala, Sapaleta, Amalia, dan gunung Manukupa.

Gunung Binaya berada di dalam kawasan Taman Nasional Manusela yang mempunyai luas 1.890 km persegi dan berada pada posisi geografis antara koordinat 129°9’33” - 129°46’14” BT dan 2°48’24” - 3°18’24” LS. Secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Seram Utara dan Kecamatan Tehoru.

Pegunungan Manusela merupakan pegunungan kars yang memiliki perwakilan tipe ekosistem pantai, hutan rawa, hutan hujan dataran rendah, hutan hujan pegunungan, dan hutan sub alpin, dengan kandungan tumbuhan seperti tancang (Bruguiera sexangula), bakau (Rhizophora acuminata), api-api (Avicennia sp.), kapur (Dryobalanops sp.), pulai (Alstonia scholaris), ketapang (Terminalia catappa), pandan (Pandanus sp.), meranti (Shorea selanica), benuang (Octomeles sumatrana), matoa/kasai (Pometia pinnata), kayu putih (Melaleuca leucadendron), serta berbagai jenis anggrek dan pakis endemik (Chintea binaya).

Yang paling unik adalah Pakis Binaya. Sekilas sama dengan pakis tiang yang umumnya tumbuh di daerah pegunungan Indonesia. Hanya perbedaannya terletak pada batang. Pakis Binaya batangnya tidak berserabut seperti umumnya pakis tiang, dan lebih menyerupai kayu. Pakis Binaya banyak ditemukan di daerah sebelum puncak Binaya.

Sedangkan fauna di pegunungan Manusela ada sekitar 117 jenis burung, di mana 14 jenis diantaranya adalah endemik seperti kesturi Ternate (Lorius garrulus), nuri tengkuk ungu/nuri kepala hitam (L. domicella), kakatua Seram (Cacatua moluccensis), burung madu Seram besar (Philemon subcorniculatus), dan nuri raja/nuri Ambon (Alisterus amboinensis), rusa (Cervus timorensis moluccensis), kuskus (Phalanger orientalis orientalis), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), luwak (Pardofelis marmorata), kadal panama (Tiliqua gigas gigas), dan berbagai jenis kupu-kupu. Fauna endemik yang menarik adalah burung kakaktua Seram yang terancam kepunahan akibat perburuan liar, serta pengrusakan terhadap habitatnya.


EKSPEDISI JEJAK BINAYA ADVENTURE

Keinginan untuk memperkenalkan secara luas gunung Binaya termasuk Taman Nasional Manusela kepada pendaki di tanah air dan mancanegara, membuat kami dari Kelompok Pecinta Alam (KPA) Perhimpunan Pemuda Sadar Wisata Pecinta Alam-Kreativitas Anak-Anak Alam (PPSWPA-KANAL) Ambon berencana menggelar event pendakian gunung Binaya secara nasional yang melibatkan para pendaki dari luar Maluku.

Mengawali pendakian bersama sekaligus memperingati Sumpah Pemuda 28 Oktober di “atap” provinsi Maluku, PPSWPA-KANAL mengutus tim ekspedisi untuk melakukan survey lapangan dan sosialisasi kegiatan ke perkampungan yang berada di sekitar gunung Binaya. Tim ekspedisi terdiri atas lima orang diketuai oleh Budi Herman, dengan anggota Agus Salim Patty, Ali Wasahua, Ali Maghdi Tubaka, dan Rusmin Tanamal. Kelima orang ini sama sekali belum pernah mendaki Gunung Binaya.

Ekspedisi PPSWPA-KANAL tidak sekadar memenuhi hasrat naik gunung, atau hanya mau menguras tenaga dan emosi, bahkan ego. Namun, kegiatan petualangan ini juga dirangkai dengan kegiatan seperti survey, sosialisasi, riset dan kegiatan sosial di masyarakat pedalaman pulau Seram. Beberapa anggota tim juga menyempatkan diri mengajar di sekolah dasar yang berada di tengah belantara pulau terbesar di kepulauan Maluku tersebut.

Tiga minggu sebelum ekspedisi, kami yang ditunjuk oleh organisasi untuk ekspedisi wajib mengikuti program latihan fisik. Sebelum dilepas, Ketua Tim Pengarah Jejak Binaya Adventure Handoko beserta Ketua Pelaksana Event M. Azis Tunny membekali tim dengan sejumlah pengetahuan seperti manajemen perjalanan, pengenalan medan, teknik wawancara dan riset, serta sejumlah materi yang berkaitan dengan ekspedisi dan misi selama membelah pulau Seram dari pesisir selatan ke utara hanya dengan berjalan kaki.

Target kami menuntaskan ekspedisi ini selama 18 hari berjalan kaki. Untuk itu, logistik yang dibawa masing-masing orang buat persediaan 20 hari. Stok logistik ini ditambah dua hari sebagai bekal cadangan bila terjadi kondisi emergensi atau tersesat di tengah hutan. Karena itulah, semua anggota tim ekspedisi selain memikul carrier (ransel besar) berukuran 60–80 liter di punggung, juga harus tandem daypak (ransel kecil) di depan.

Setelah seluruh perlengkapan lapangan dan logistik selesai packing, Minggu, 10 Juli, tim mulai bertolak dari pulau Ambon menuju pulau Seram menumpangi kapal cepat dari pelabuhan Tulehu ke pelabuhan Amahai. Karena prosedur memasuki kawasan Taman Nasional diwajibkan melaporkan diri terlebih dahulu, membuat tim bermalam setiba di Masohi karena saat itu hari libur kantor. Besoknya, Senin (11/7), setelah melaporkan diri dan mengantongi Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMKK) dari Balai Taman Nasional Manusela, tim kemudian berangkat menuju desa Tehoru menggunakan angkutan darat dengan waktu tempuh kurang dari 3 jam.

Perjalanan masih dilanjutkan dengan menumpangi angkutan laut dari desa Tehoru menuju desa Moso. Setelah sepakat soal harga dengan pemilik longboat yang akan mengantar kami, tim bergerak menuju longboat bercat biru yang tengah parkir di garis pantai desa Tehoru. Ketika itu, sore menjelang malam cuaca cukup cerah. Namun ketika longboat mulai memasuki perairan teluk Tehoru, gelombang hingga 2 meter membuat nyali kami pun ciut. Air laut masuk ke dalam longboat tanpa kap penutup itu, membuat sebagian besar penumpang basah kuyup.

Setelah hampir 30 menit menembus tinggi gelombang laut, longboat kami akhirnya merapat ke pantai desa Moso. Desa di pesisir selatan pulau Seram itu menjadi titik awal tim ekspedisi memulai pendakian. Di Moso kami bermalam di rumah salah satu anggota PPSWPA-KANAL Cabang Masohi yang kebetulan warga setempat.

Kami melaporkan diri ke pemerintah desa setempat, sekaligus mengambil data profil desa, dan sosialisasi kegiatan Jejak Binaya Adventure yang akan berlangsung Oktober nanti. Sosialisasi ini penting sebab seratusan pendaki dari berbagai daerah rencananya bermalam di Moso, sebelum melakukan pendakian. Sibuk mengumpulkan data, membuat tim ekspedisi baru bisa tidur sekitar jam 12 malam.

Selasa pagi (12/7), sekitar pukul 9, tim mulai melakukan trakking didampingi seorang guide asal Moso yakni Abdullah Tehuayo. Tiga jam perjalanan pertama, tim melewati hutan Ula Ai dengan ketinggian 220 mdpl, kemudian menuju Sape Hitu di ketinggian 300 mdpl. Perjalanan dari Moso langsung menanjak naik dengan kemiringan medan mencapai 60 derajat.

Seharian berjalan kaki, tim akhirnya tiba di dusun Sinahari pukul 6 sore. Di dusun ini hanya ada satu buah rumah dengan empat kepala keluarga sebagai penghuninya. Kami ikut bermalam di satu-satunya rumah di dusun itu. Dusun yang dipimpin oleh Semmy Ilelapotowa (48) ini, seluruh anggota masyarakatnya masih menganut agama asli leluhur.

Rabu (13/7), tim melanjutkan perjalanan. Rasa jenuh mulai mewarnai kelanjutan perjalanan pagi itu. Namun tekad dan komitmen yang kuat, perlahan membuat stres akan medan yang bakal dihadapi sirna. Perjalanan selama 1.30 jam dari Sinahari akhirnya sampai di Liang Satu (Amarawele) di ketinggian 590 mdpl. Di Liang Satu kami beristirahat sejenak sambil membuat minuman hangat untuk mengembalikan stamina yang sedikit terkuras.

Di dalam belantara rimba Seram, kami melewati satu makam yang dikeramatkan masyarakat setempat yakni “kuburan satu jengkal”. Kami diwajibkan untuk meminta izin serta perlindungan dari segala mara bahaya, sambil menaruh beberapa batang rokok sebagai sesajian. Perjalanan pun dilanjutkan dan kami mulai dihadapkan dengan jalur yang semakin ekstrim, yakni tanjakan yang curam dengan bebatuan cadas. Di tengah hujan deras, kami harus merayap di bibir jurang, sambil berpegangan di dinding tebing. Sebagian jalan yang dilalui hanya selebar satu tapak sepatu. Di beberapa titik pun terdapat bekas longsoran membuat perjalanan di jalur ini semakin beresiko.

Setelah melewati medan ekstrim sekitar 4 jam, kami akhirnya tiba di Seki Waelala di ketinggian 500 mdpl. Akibat hujan deras, daerah ini penuh dengan becek, bahkan lokasi camp kami pun berada di atas tanah becek. Paginya, Kamis (14/7), tim melanjutkan perjalanan hingga ke Liang Dua (Silahata) untuk memilih beristirahat sebentar. Perjalanan dilanjutkan menuju Liang Tiga (Malasihata) di ketinggian 990 mdpl.

Setelah beristirahat, tim melanjutkan perjalanan dengan jalur semakin menantang dan menguras fisik serta mental hingga mencapai titik 1090 mdpl di Wae Kapakasitamu. Setiba di Camp Inggris yang biasanya dijadikan para pendaki Binaya sebagai tempat istirahat, kami justru tetap melanjutkan perjalanan hingga tiba di Hutan Wele Yohi-Yohi di punggungan gunung Huale dengan ketinggian 1400 mdpl. Di punggungan gunung ini tim bermalam.

Jumat pagi (15/7), tim melanjutkan perjalanan melewati punggungan gunung Huale atau gunung Nasalala. Di puncak Nasalala, kabut tebal menyergap di ketinggian 1800 mdpl. Desa Manusela sebenarnya bisa terlihat jelas dari puncak Nasalala, namun karena kabut tebal menghalangi pandangan kami membuat perkampungan itu sama sekali tidak tampak.

Dihadang kabut tebal dan hujan deras, kaki kami harus menuruni bukit dan banyak sekali akar pohon yang melintang di jalur ini. Kondisi medan seperti itu membuat kami harus lebih ekstra hati-hati bila tidak mau terjatuh atau terperosok ke bawah.

Dalam perjalanan turun, vegetasi yang kami lalui adalah hutan damar. Perjalanan kami akhirnya tiba di Liang Empat (Pasaseha) di ketinggian 1240 mdpl. Di Liang Empat, tim berinisiatif bermalam, sebab waktu sudah menunjukan pukul 5 sore, dan stamina tim cukup terkuras sehari itu. Sabtu siang (16/7), tim melanjutkan perjalanan menuju Manusela dengan melewati vegetasi hutan bambu yang cukup luas.

Lima hari perjalanan awal dari Moso hingga Manusela, Tim Ekspedisi Binaya dari PPSWPA-KANAL Ambon ditemani hujan, dan kadang menyeberangi sungai. Sepanjang hari, pakaian basah dan rasa dingin menjadi bagian tak terpisahkan dari tim. Pakaian kering hanya bisa dinikmati pada malam hari saat mau tidur. (bersambung)



* Pernah dipublikasikan di Koran Harian Ambon Ekspres Edisi Kamis 4 Agustus 2011

selanjutnya »»