Jumat, 19 Agustus 2011

“Membelah Nusa Ina dari Selatan ke Utara”


Catatan Ekspedisi Gunung Binaya PPSWPA-KANAL (Bagian-1)


Laporan:

Budi Herman dan Agus Salim Patty


Mendaki Gunung Binaya di Pulau Seram, Provinsi Maluku, tidak semudah dibayangkan. Beberapa kawan dari luar Maluku yang pernah mendaki gunung tinggi di dunia seperti Elbrus di Rusia (Eropa), Kilimanjaro di Tanzania (Afrika) atau Aconcagua di Argentina (Amerika), saat mendaki Binaya, khususnya dari jalur selatan, biasanya dilanda stres medan karena jalur trakking yang panjang dan medan yang dihadapi sangat beragam.

Gunung Binaya memiliki tiga titik ketinggian yakni 3027 mdpl (meter dari permukaan laut), 3019 mdpl dan 3011 mdpl. Bagi kalangan pecinta alam, puncak tertinggi Binaya disebut sebagai “Mutiara Nusa Ina”. Gunung di kawasan Taman Nasional Manusela ini menawarkan pesona alam flora dan fauna yang mampu mengundang decak kagum.

Sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak Binaya, para pendaki saat berada di desa Kanikeh, perkampung paling dekat dengan puncak Binaya, diwajibkan mengikuti ritual adat berupa makan sirih-pinang dan upacara pembersihan jiwa yang dipimpin tetua adat setempat.



Pendakian Binaya dari selatan Pulau Seram termasuk pendakian tereksterim di Indonesia. Sebab jalurnya panjang dan butuh waktu 8 hingga 12 hari untuk sampai ke puncak. Karakteristik gunung dan bukit yang lembab, basah serta berawa-rawa, sepanjang perjalanan akan melewati medan hutan tertutup, hutan terbuka, hutan bambu, daerah rawah, jalur air (sungai) dan tanjakan.

Saat melewati batas vegetasi, perjalanan sekitar 2 sampai 3 jam menuju puncak langsung mendaki tebing dengan kemiringan 65 derajat. Situasi dingin dan lembab serta banyak binatang penghisap darah seperti lintah dan nyamuk mengharuskan pendaki harus lebih berhati-hati.

Menggunakan jalur Moso, para pendaki akan melewati tujuh desa yang dihuni suku asli Maluku. Dari puncak kita dapat melihat pemandangan yang indah sepanjang mata memandang. Saat tak berkabut, terlihat jelas garis pantai utara dan selatan pulau Seram. Kondisi suhu di puncak pada malam hari bisa mencapai minus 3° Celcius.

Jalur menuju puncak Binaya ada dua yakni jalur selatan dari Kecamatan Tehoru dan jalur utara dari Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah. Jalur utara terbilang lebih mudah dan cepat menuju puncak, namun jalur selatan jauh lebih ekstrim.

Di Indonesia, gunung Binaya masuk dalam jajaran tujuh puncak tinggi Indonesia yang mewakili pulau besar dan gugusan pulau-pulau. Selain Binaya, yang masuk seven summit of Indonesia adalah gunung Kerinci (3.805 mdpl) di Sumatera, Semeru (3.676 mdpl) di Jawa, Bukit Raya (2278 mdpl) di Kalimantan, Latimojong (3.478 mdpl) di Sulawesi, Rinjani (3726 mdpl) di Nusa Tenggara, dan Carstensz Pyramid (4884 mdpl) di Papua.

Binaya berada di gugusan pegunungan Manusela. Pegunungan ini membagi pulau Seram menjadi dua bagian yakni Seram Utara dan Seram Selatan. Lazimnya sebuah pegunungan, di gugusan pegunungan Manusela terdapat banyak puncak dengan puncak tertingginya adalah gunung Binaya dengan ketinggian 3.027 mdpl. Puncak lainnya seperti gunung Huale, Murkele, Hitapala, Sapaleta, Amalia, dan gunung Manukupa.

Gunung Binaya berada di dalam kawasan Taman Nasional Manusela yang mempunyai luas 1.890 km persegi dan berada pada posisi geografis antara koordinat 129°9’33” - 129°46’14” BT dan 2°48’24” - 3°18’24” LS. Secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Seram Utara dan Kecamatan Tehoru.

Pegunungan Manusela merupakan pegunungan kars yang memiliki perwakilan tipe ekosistem pantai, hutan rawa, hutan hujan dataran rendah, hutan hujan pegunungan, dan hutan sub alpin, dengan kandungan tumbuhan seperti tancang (Bruguiera sexangula), bakau (Rhizophora acuminata), api-api (Avicennia sp.), kapur (Dryobalanops sp.), pulai (Alstonia scholaris), ketapang (Terminalia catappa), pandan (Pandanus sp.), meranti (Shorea selanica), benuang (Octomeles sumatrana), matoa/kasai (Pometia pinnata), kayu putih (Melaleuca leucadendron), serta berbagai jenis anggrek dan pakis endemik (Chintea binaya).

Yang paling unik adalah Pakis Binaya. Sekilas sama dengan pakis tiang yang umumnya tumbuh di daerah pegunungan Indonesia. Hanya perbedaannya terletak pada batang. Pakis Binaya batangnya tidak berserabut seperti umumnya pakis tiang, dan lebih menyerupai kayu. Pakis Binaya banyak ditemukan di daerah sebelum puncak Binaya.

Sedangkan fauna di pegunungan Manusela ada sekitar 117 jenis burung, di mana 14 jenis diantaranya adalah endemik seperti kesturi Ternate (Lorius garrulus), nuri tengkuk ungu/nuri kepala hitam (L. domicella), kakatua Seram (Cacatua moluccensis), burung madu Seram besar (Philemon subcorniculatus), dan nuri raja/nuri Ambon (Alisterus amboinensis), rusa (Cervus timorensis moluccensis), kuskus (Phalanger orientalis orientalis), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), luwak (Pardofelis marmorata), kadal panama (Tiliqua gigas gigas), dan berbagai jenis kupu-kupu. Fauna endemik yang menarik adalah burung kakaktua Seram yang terancam kepunahan akibat perburuan liar, serta pengrusakan terhadap habitatnya.


EKSPEDISI JEJAK BINAYA ADVENTURE

Keinginan untuk memperkenalkan secara luas gunung Binaya termasuk Taman Nasional Manusela kepada pendaki di tanah air dan mancanegara, membuat kami dari Kelompok Pecinta Alam (KPA) Perhimpunan Pemuda Sadar Wisata Pecinta Alam-Kreativitas Anak-Anak Alam (PPSWPA-KANAL) Ambon berencana menggelar event pendakian gunung Binaya secara nasional yang melibatkan para pendaki dari luar Maluku.

Mengawali pendakian bersama sekaligus memperingati Sumpah Pemuda 28 Oktober di “atap” provinsi Maluku, PPSWPA-KANAL mengutus tim ekspedisi untuk melakukan survey lapangan dan sosialisasi kegiatan ke perkampungan yang berada di sekitar gunung Binaya. Tim ekspedisi terdiri atas lima orang diketuai oleh Budi Herman, dengan anggota Agus Salim Patty, Ali Wasahua, Ali Maghdi Tubaka, dan Rusmin Tanamal. Kelima orang ini sama sekali belum pernah mendaki Gunung Binaya.

Ekspedisi PPSWPA-KANAL tidak sekadar memenuhi hasrat naik gunung, atau hanya mau menguras tenaga dan emosi, bahkan ego. Namun, kegiatan petualangan ini juga dirangkai dengan kegiatan seperti survey, sosialisasi, riset dan kegiatan sosial di masyarakat pedalaman pulau Seram. Beberapa anggota tim juga menyempatkan diri mengajar di sekolah dasar yang berada di tengah belantara pulau terbesar di kepulauan Maluku tersebut.

Tiga minggu sebelum ekspedisi, kami yang ditunjuk oleh organisasi untuk ekspedisi wajib mengikuti program latihan fisik. Sebelum dilepas, Ketua Tim Pengarah Jejak Binaya Adventure Handoko beserta Ketua Pelaksana Event M. Azis Tunny membekali tim dengan sejumlah pengetahuan seperti manajemen perjalanan, pengenalan medan, teknik wawancara dan riset, serta sejumlah materi yang berkaitan dengan ekspedisi dan misi selama membelah pulau Seram dari pesisir selatan ke utara hanya dengan berjalan kaki.

Target kami menuntaskan ekspedisi ini selama 18 hari berjalan kaki. Untuk itu, logistik yang dibawa masing-masing orang buat persediaan 20 hari. Stok logistik ini ditambah dua hari sebagai bekal cadangan bila terjadi kondisi emergensi atau tersesat di tengah hutan. Karena itulah, semua anggota tim ekspedisi selain memikul carrier (ransel besar) berukuran 60–80 liter di punggung, juga harus tandem daypak (ransel kecil) di depan.

Setelah seluruh perlengkapan lapangan dan logistik selesai packing, Minggu, 10 Juli, tim mulai bertolak dari pulau Ambon menuju pulau Seram menumpangi kapal cepat dari pelabuhan Tulehu ke pelabuhan Amahai. Karena prosedur memasuki kawasan Taman Nasional diwajibkan melaporkan diri terlebih dahulu, membuat tim bermalam setiba di Masohi karena saat itu hari libur kantor. Besoknya, Senin (11/7), setelah melaporkan diri dan mengantongi Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMKK) dari Balai Taman Nasional Manusela, tim kemudian berangkat menuju desa Tehoru menggunakan angkutan darat dengan waktu tempuh kurang dari 3 jam.

Perjalanan masih dilanjutkan dengan menumpangi angkutan laut dari desa Tehoru menuju desa Moso. Setelah sepakat soal harga dengan pemilik longboat yang akan mengantar kami, tim bergerak menuju longboat bercat biru yang tengah parkir di garis pantai desa Tehoru. Ketika itu, sore menjelang malam cuaca cukup cerah. Namun ketika longboat mulai memasuki perairan teluk Tehoru, gelombang hingga 2 meter membuat nyali kami pun ciut. Air laut masuk ke dalam longboat tanpa kap penutup itu, membuat sebagian besar penumpang basah kuyup.

Setelah hampir 30 menit menembus tinggi gelombang laut, longboat kami akhirnya merapat ke pantai desa Moso. Desa di pesisir selatan pulau Seram itu menjadi titik awal tim ekspedisi memulai pendakian. Di Moso kami bermalam di rumah salah satu anggota PPSWPA-KANAL Cabang Masohi yang kebetulan warga setempat.

Kami melaporkan diri ke pemerintah desa setempat, sekaligus mengambil data profil desa, dan sosialisasi kegiatan Jejak Binaya Adventure yang akan berlangsung Oktober nanti. Sosialisasi ini penting sebab seratusan pendaki dari berbagai daerah rencananya bermalam di Moso, sebelum melakukan pendakian. Sibuk mengumpulkan data, membuat tim ekspedisi baru bisa tidur sekitar jam 12 malam.

Selasa pagi (12/7), sekitar pukul 9, tim mulai melakukan trakking didampingi seorang guide asal Moso yakni Abdullah Tehuayo. Tiga jam perjalanan pertama, tim melewati hutan Ula Ai dengan ketinggian 220 mdpl, kemudian menuju Sape Hitu di ketinggian 300 mdpl. Perjalanan dari Moso langsung menanjak naik dengan kemiringan medan mencapai 60 derajat.

Seharian berjalan kaki, tim akhirnya tiba di dusun Sinahari pukul 6 sore. Di dusun ini hanya ada satu buah rumah dengan empat kepala keluarga sebagai penghuninya. Kami ikut bermalam di satu-satunya rumah di dusun itu. Dusun yang dipimpin oleh Semmy Ilelapotowa (48) ini, seluruh anggota masyarakatnya masih menganut agama asli leluhur.

Rabu (13/7), tim melanjutkan perjalanan. Rasa jenuh mulai mewarnai kelanjutan perjalanan pagi itu. Namun tekad dan komitmen yang kuat, perlahan membuat stres akan medan yang bakal dihadapi sirna. Perjalanan selama 1.30 jam dari Sinahari akhirnya sampai di Liang Satu (Amarawele) di ketinggian 590 mdpl. Di Liang Satu kami beristirahat sejenak sambil membuat minuman hangat untuk mengembalikan stamina yang sedikit terkuras.

Di dalam belantara rimba Seram, kami melewati satu makam yang dikeramatkan masyarakat setempat yakni “kuburan satu jengkal”. Kami diwajibkan untuk meminta izin serta perlindungan dari segala mara bahaya, sambil menaruh beberapa batang rokok sebagai sesajian. Perjalanan pun dilanjutkan dan kami mulai dihadapkan dengan jalur yang semakin ekstrim, yakni tanjakan yang curam dengan bebatuan cadas. Di tengah hujan deras, kami harus merayap di bibir jurang, sambil berpegangan di dinding tebing. Sebagian jalan yang dilalui hanya selebar satu tapak sepatu. Di beberapa titik pun terdapat bekas longsoran membuat perjalanan di jalur ini semakin beresiko.

Setelah melewati medan ekstrim sekitar 4 jam, kami akhirnya tiba di Seki Waelala di ketinggian 500 mdpl. Akibat hujan deras, daerah ini penuh dengan becek, bahkan lokasi camp kami pun berada di atas tanah becek. Paginya, Kamis (14/7), tim melanjutkan perjalanan hingga ke Liang Dua (Silahata) untuk memilih beristirahat sebentar. Perjalanan dilanjutkan menuju Liang Tiga (Malasihata) di ketinggian 990 mdpl.

Setelah beristirahat, tim melanjutkan perjalanan dengan jalur semakin menantang dan menguras fisik serta mental hingga mencapai titik 1090 mdpl di Wae Kapakasitamu. Setiba di Camp Inggris yang biasanya dijadikan para pendaki Binaya sebagai tempat istirahat, kami justru tetap melanjutkan perjalanan hingga tiba di Hutan Wele Yohi-Yohi di punggungan gunung Huale dengan ketinggian 1400 mdpl. Di punggungan gunung ini tim bermalam.

Jumat pagi (15/7), tim melanjutkan perjalanan melewati punggungan gunung Huale atau gunung Nasalala. Di puncak Nasalala, kabut tebal menyergap di ketinggian 1800 mdpl. Desa Manusela sebenarnya bisa terlihat jelas dari puncak Nasalala, namun karena kabut tebal menghalangi pandangan kami membuat perkampungan itu sama sekali tidak tampak.

Dihadang kabut tebal dan hujan deras, kaki kami harus menuruni bukit dan banyak sekali akar pohon yang melintang di jalur ini. Kondisi medan seperti itu membuat kami harus lebih ekstra hati-hati bila tidak mau terjatuh atau terperosok ke bawah.

Dalam perjalanan turun, vegetasi yang kami lalui adalah hutan damar. Perjalanan kami akhirnya tiba di Liang Empat (Pasaseha) di ketinggian 1240 mdpl. Di Liang Empat, tim berinisiatif bermalam, sebab waktu sudah menunjukan pukul 5 sore, dan stamina tim cukup terkuras sehari itu. Sabtu siang (16/7), tim melanjutkan perjalanan menuju Manusela dengan melewati vegetasi hutan bambu yang cukup luas.

Lima hari perjalanan awal dari Moso hingga Manusela, Tim Ekspedisi Binaya dari PPSWPA-KANAL Ambon ditemani hujan, dan kadang menyeberangi sungai. Sepanjang hari, pakaian basah dan rasa dingin menjadi bagian tak terpisahkan dari tim. Pakaian kering hanya bisa dinikmati pada malam hari saat mau tidur. (bersambung)



* Pernah dipublikasikan di Koran Harian Ambon Ekspres Edisi Kamis 4 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar