Jumat, 19 Agustus 2011

"Merayap di Bibir Jurang Hingga Mengajar di Pedalaman Seram"


Catatan Ekspedisi Gunung Binaya PPSWPA-KANAL (Bagian-2)


Laporan:

Budi Herman dan Agus Salim Patty


"Medan ekstrim dan kondisi pendidikan yang terabaikan menjadi bagian dari perjalanan tim Ekspedisi Gunung Binaya PPSWPA-KANAL".


Setelah melewati Liang Satu (Amarawele) di ketinggian 590 mdpl, tim ekspedisi menemukan makam yang dikeramatkan masyarakat setempat. Keramat itu dinamai “makam satu jengkal”. Kami diwajibkan berdoa di keramat untuk meminta perlindungan dari marabahaya, juga menaruh beberapa batang rokok sebagai sesajian.

Rabu (13/7), perjalanan dilanjutkan dengan jalur yang makin ekstrim. Tanjakan curam dengan bebatuan cadas menjadi medan yang harus dilalui. Di tengah hujan deras, kami terus merayap di bibir jurang, sambil berpegangan pada dinding tebing. Sebagian jalan yang dilalui hanya selebar satu tapak sepatu. Sesekali jantung berdetak kencang ketika batu dan tanah tempat pijakan kami gugur dan jatuh ke dalam jurang.



Di beberapa titik terdapat bekas longsoran membuat perjalanan semakin beresiko. Sudah begitu, dalam kondisi hujan dan merayap di bibir jurang, semua anggota tim ekspedisi membawa dua tas, masing-masing orang memikul carrier (ransel besar) di punggung, dan satu daypack (ransel kecil) ditandem di depan.

Setelah melewati medan ekstrim sekitar 4 jam, kami tiba di hutan Seki Waelala di ketinggian 500 mdpl. Daerah ini dipenuhi becek. Lokasi base camp kami untuk bermalam bahkan berada di tanah berlumpur. Kamis pagi (14/7), tim melanjutkan perjalanan ke Liang Dua (Silahata) dan memilih istirahat sebentar. Perjalanan dilanjutkan menuju Liang Tiga (Malasihata) di ketinggian 990 mdpl.

Tim melanjutkan perjalanan dengan jalur semakin menantang yang menguras fisik dan mental hingga mencapai titik 1090 mdpl di Wae Kapakasitamu. Setiba di Camp Inggris yang biasanya dijadikan para pendaki gunung Binaya sebagai tempat istirahat, kami justru tetap melanjutkan perjalanan hingga tiba di Hutan Wele Yohi-Yohi di punggungan gunung Huale dengan ketinggian 1400 mdpl. Di punggungan gunung ini tim bermalam.

Dalam perjalanan, beberapa kali, tim ekspedisi berpapasan dengan anak-anak dari desa Manusela. Mereka hendak ke Hatumete atau desa-desa di pesisir untuk bersekolah. Mahfum di kampung mereka hanya ada sekolah dasar. Kasihan benar, hanya untuk sekolah mereka harus jalan kaki naik-turun gunung dua sampai tiga hari, bahkan lebih. Kalaupun dapat malam di tengah perjalanan, anak-anak ini terpaksa bermalam di hutan. Sebagian besar dari mereka terpaksa tinggal di desa tempat mereka melanjutkan sekolah. Pada akhir pekan, anak-anak ini biasanya pulang ke kampung halaman.

Jumat pagi (15/7), tim melanjutkan perjalanan melewati punggungan gunung Huale atau gunung Nasalala. Di puncak Nasalala, kabut tebal menyergap di ketinggian 1800 mdpl. Desa Manusela bisa terlihat jelas dari puncak Nasalala, namun kabut tebal menghalangi pandangan kami. Dihadang kabut tebal dan hujan deras, kaki kami harus menuruni bukit yang banyak terdapat akar pohon yang melintang di jalur ini. Kondisi medannya membuat kami harus lebih ekstra hati-hati bila tidak mau terjatuh atau terperosok ke bawah.

Dalam perjalanan menuruni punggungan gunung, vegetasi yang kami lalui adalah hutan damar. Perjalanan akhirnya tiba di Liang Empat (Pasaseha) di ketinggian 1240 mdpl. Di Liang Empat, tim berinisiatif bermalam, sebab waktu sudah menunjukan pukul 5 sore, apalagi stamina tim cukup terkuras sehari itu. Sabtu siang (16/7), tim melanjutkan perjalanan menuju Manusela dengan melewati vegetasi hutan bambu yang cukup luas.

Lima hari perjalanan dari Moso hingga Manusela, Tim Ekspedisi Binaya dari PPSWPA-KANAL kerap ditemani hujan, kadang menyeberangi sungai besar dan kecil. Sepanjang hari, pakaian basah dan rasa dingin menjadi bagian tak terpisahkan dari ekspedisi. Pakaian kering hanya bisa dinikmati pada malam hari saat mau tidur.

Perjalanan hari kelima akhirnya sampai ke desa Manusela. Setelah hampir lima jam dihadang kabut tebal serta diguyur hujan seharian, melihat perkampungan dari jauh, muncul sedikit harapan bisa bermalam lebih nyaman di rumah warga. Tim tiba di Manusela menjelang pukul 20.00 WIT dan langsung mencari rumah kepala desa.

Manusela merupakan satu-satunya desa di jalur pendakian kami yang lengkap dengan fasilitas publik. Meskipun demikian, satu sekolah dasar dan puskesmas di desa itu juga tidak berfungsi secara baik. Puskesmas jarang buka untuk pelayanan kesehatan warga karena petugasnya lebih sering berada di luar desa. Nasib yang sama juga menimpa sekolah dasar di desa itu.

Hati siapa tak tergugah ketika dalam republik ini masih ada masyarakat yang belum menikmati kebutuhan dasar berupa pendidikan dan kesehatan secara layak dan bermutu. Fasilitas pendidikan yang tersedia sangat memprihatinkan. Bangunannya berdinding papan lapuk yang hampir roboh, beralaskan tanah, serta atapnya dari daun rumbia yang bolong dimana-mana. Sebagian besar siswa bersekolah tanpa seragam, apalagi memiliki perlengkapan tulis-menulis.

Jumlah pengajar di SD YPPK Manusela ada tiga guru, itupun jarang menjalankan tugas karena lebih sering menetap di luar desa. Hanya ada satu guru bantu Ny. J.F. Lilihata yang setia mengajari siswa kelas 1 hingga 6, tanpa digaji. Kebetulan Lilihata adalah anak kepala desa yang tinggal di Manusela. Ia tak tega melihat anak-anak desanya diabaikan haknya untuk sekolah.

Melihat kondisi ini, tim ekspedisi yang juga membawa bantuan alat peraga pendidikan untuk belajar membaca dan berhitung ke sekolah-sekolah di kaki Binaya, langsung berinisiatif mengajar anak-anak pedalaman pulau Seram tersebut.

Secara administratif, desa Manusela berada dalam Kecamatan Seram Utara dan merupakan desa induk yang membawahi enam dusun yakni Siatele, Miliani, Solea, Kabuhari, Maraina dan Selumena. Secara geografis, desa ini berada di lembah yang dikelilingi gunung. Di sebelah utara menjulang gunung Sapaleta, selatan gunung Huale, timur gunung Amalia, dan sebelah barat gunung Murkele. Desa ini juga diapit dua sungai besar, Wae Ihana dan Wae Hanuai.

Manusela berasal dari kata Manu (manusia yang diumpamakan sebagai burung) dan Sela (tempat yang dicari). Jadi, Manusela berarti manusia yang mencari tempat berteduh atau tinggal. Terdapat sembilan marga di Manusela yakni Lilihata, Latumutuan, Eyale, Paay, Manukuwani, Mahua, Masalina, Ilelapotowa, dan Etalo.

Letak rumah-rumah warga di desa yang berada di ketinggian 870 mdpl itu tampak teratur. Kedaan desa yang penduduknya mayoritas beragama Kristen Protestan itu terlihat rapi dan bersih. Sehari-harinya masyarakat setempat berkomunikasi dengan bahasa gunung. Salah satu tempat yang dikeramatkan adalah kuburan tua yang dinamai Amalia Moa atau Keramat Hutan.

Tim ekspedisi tertahan dua hari di Manusela karena sungai diantara Manusela dan Maraina meluap karena hujan tak kunjung reda. Selama dua hari itu kami memaksimalkan keberadaan kami untuk mengajar di sekolah sekaligus mendalami riset.

Setelah arus sungai yang banjir perlahan surut, Senin siang (18/7) kami berusaha menerobos sungai dengan membuat jembatan darurat dari batang-batang bambu. Sesuai agenda perjalanan, tim juga bermalam di Maraina meskipun jarak antara kedua desa ini relatif dekat yakni sekitar 3 kilometer.

Masyarakat Maraina memiliki impian sama, seperti halnya masyarakat Manusela. Di Maraina terdapat satu sekolah dasar yang juga dalam kondisi prihatin. Meskipun sekolah tersebut berstatus negeri, tapi hanya ada satu orang guru yang sekaligus merangkap kepala sekolah.

Selasa pagi (19/7), tim melanjutkan perjalanan menuju dusun Selumena di ketinggian 800 mdpl. Medan yang dilalui adalah jalur basah dan berlumpur. Selumena berada di bawah desa Manusela, memiliki sebuah baileo (rumah adat) yang diberi nama Nusa Inapanoloki. Di dusun ini terdapat 12 rumah. Menurut cerita masyarakat setempat, dusun Selumena sudah mengalami tujuh kali perpindahan.

Dulunya dusun ini berupa desa Umahaloi yang diganti namanya karena kehadiran marga Selumena dengan alasan perpindahan adalah sumber air. Di dusun ini terdapat empat marga yakni Falate, Huhuna, Berasa, dan Selumena. Masyarakat Selumena belum menikmati fasilitas listrik dan masih mengandalkan pelita sebagai alat penerang di malam hari. Selumena berada di bantaran sungai Isal dengan latar pemandangan gunung Murkele Besar dan gunung Murkele Kecil yang indah.

Setelah bermalam di Selumena, Rabu pagi (20/7), tim kemudian bergerak menuju desa Kanike di ketinggian 640 mdpl. Kanikeh merupakan desa yang berada paling dekat kaki gunung Binaya. (bersambung)



* Pernah dipublikasikan di Koran Harian Ambon Ekspres Edisi Jumat 5 Agustus 2011

1 komentar:

  1. Sands Casino Resort in California | SEGATIC PLAY
    Sands Casino Resort is located in California near Yosemite National Park งานออนไลน์ and features a casino, septcasino a 24-hour poker 인카지노 room, and a snack bar.

    BalasHapus