Jumat, 19 Agustus 2011

"Summit Attack dan In Memorian Paul"



Catatan Ekspedisi Gunung Binaya PPSWPA-KANAL (Bagian-3)


Laporan:

Budi Herman dan Agus Salim Patty


"Suku asli pulau Seram di kaki gunung Binaya sangat menghormati gunung itu karena meyakini roh leluhur mereka mendiaminya".

24 tahun silam, gunung Binaya di pedalaman pulau Seram menjadi perhatian dunia. Seorang pendaki muda yang juga fotografer berkebangsaan Inggris, Paul Claxton, ditemukan tewas setelah terjatuh dari “atap” Maluku.

Paul adalah peserta Operation Raleigh, sebuah kegiatan penelitian flora dan fauna yang dimulai sejak 1984 di AS dan berakhir 1988 di Inggris. Operation Raleigh dilakukan di berbagai pelosok dunia yang masih perawan alamnya.

Pria berkebangsaan Inggris itu terjatuh dari puncak Binaya, 16 Agustus 1987. Nasib tragis Paul nyaris dikuti rekannya, Ashley Hyett, penjelajah muda yang ikut menemani Paul mendaki Binaya. Meskipun selamat, Ashley saat ditemukan tim SAR (Search and Rescue) dalam keadaan sangat mengenaskan. Sebagian tulang iganya patah, kulit tubuhnya terbarut, kedua engsel kakinya terpelintir.


Ketika ditemukan, luka di kepala Ashley sudah mengalami infeksi parah dan dikerubungi belatung. Sedangkan mayat Paul baru ditemukan setelah kedatangan pendaki senior Mapala UI yang juga wartawan Kompas, Norman Edwin. Jejak dari peristiwa tragis ini masih bisa ditemukan di desa Kanikeh. Tepatnya di depan rumah adat Kanike terdapat prasasti "In Memorian Paul".

Sesampai di Kanikeh, Rabu (20/7), tim ekspedisi PPSWPA-KANAL menyempatkan diri mengunjungi prasasti yang mengenang peristiwa tragis 24 tahun silam. Lokasi perkampungan di ketinggian 640 mdpl ini merupakan perkampungan yang berada paling dekat dengan gunung Binaya.

Dari desa ini, gunung Binaya terlihat sangat jelas pada pagi hari, sedangkan siang dan sore tertutup kabut dan awan. Secara geografis, di sebelah utara Kanikeh terdapat gunung Hitapala, sebelah selatan gunung Binaya, sebelah barat Sungai Ule (Wae Ule) dan sebelah barat laut gunung Sapalewana. Menurut tetua adat Kanikeh, nama asli desa ini adalah Nusamuwele atau Nusawele. Nusa diartikan Tanah, Wele diartikan dengan Terang.

Selain riset, tim ekspedisi juga melakukan sosialisasi kegiatan Jejak Binaya Adventure kepada Saniri Negeri dan masyarakat Kanikeh. Kamis pagi (21/7) sekitar pukul 09.00 WIT, sebelum melanjutkan perjalanan, tim diwajibkan mengikuti ritual adat yang didalamnya terdapat prosesi makan siri-pinang. Ritual ini dipimpin ketua adat Kanikeh dan diharuskan kepada mereka yang ingin mendaki gunung Binaya karena bertujuan memperoleh keselamatan bagi para pendaki.

Sehabis proses adat, tim melanjutkan perjalanan menempuh jalur menanjak. Saat waktu menunjukan pukul 16.35, tim sepakat mendirikan base camp di Wae Ansela. Jumat pagi (22/7), tim bergerak menuju Wae Huhu, selanjutnya beristirahat untuk makan siang. Di Wae Huhu ditemukan banyak sampah non organik yang berserakan di lokasi base camp yang kemungkinan ditinggalkan oleh pendaki sebelumnya.

Melihat kondisi ini, kami berinisiatif untuk membakar dan menguburkan sampah-sampah tersebut. Setelah cukup beristirahat, kami bergegas menuju puncak dengan menerobos vegetasi lumut dan pakis. Dalam perjalanan terlihat beragam jenis satwa khas daerah setempat seperti burung nuri, burung rangkong, dan rusa. Sekitar 150 meter sebelum sampai di base camp terakhir Wae Puku, tim terlebih dahulu melewati jalur lereng curam dan punggungan terjal dengan bebatuan labil.

Tepat pukul 17.12 WIT, tim ekspedisi sampai di Wae Puku, dan langsung mendirikan tenda dome. Di lokasi ini terdapat sumber air berupa telaga yang dangkal. Di sini kami juga menemukan banyak sampah yang terkumpul seluruhnya mencapai dua kantung plastik. Sampah-sampah yang ditinggalkan pendaki sebelumnya itu kami bakar dan kuburkan. Setelah itu, kami bergegas melakukan “summit attack” di titik tertinggi Binaya, 3.207 mdpl.

Gunung Binaya bukan saja menyimpan misteri dan mitos bagi masyarakat adat di sekitarnya. Berada di puncak Binaya, keindahan alam terasa sempurna. Memandang gumpalan awan tebal di bawah kita, serasa berada di sebuah negeri di atas awan. Keadaan medan untuk mencapai Binaya adalah tantangan tersendiri bagi para petualang sejati yang ingin menikmati sensasi mendaki mulai dari titik 0 mdpl hingga titik 3.027 mdpl. (habis)





* Pernah dipublikasikan di Koran Harian Ambon Ekspres Edisi Sabtu 6 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar